Senin, 23 September 2013

Kisah Singkat Perjalanan Gus Miek

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenai kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel terganggu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.
“Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.
“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.
“Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.
“Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.
Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.
“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.

Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.
“Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.
Tiba-tiba di pekarangan rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.
“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”
Amar mengangguk.
“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.

Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.
“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.
Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”
“Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.
“Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.
Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”

Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syaqaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syaqaf. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.
Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.
Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.
“Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .
Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.
“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.
Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.

Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.
Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syaqaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syaqaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.
“Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syaqaf.
“Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.
“Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syaqaf.
Habib Muhamad as-Syaqaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syaqaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syaqaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syaqaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syaqaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa. Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syaqaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.
Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.
Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memahami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).
“Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid.
“Ploso,” jawab Maskur.
“Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.
“Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.
“Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .
Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.
Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.
“Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.
KH. Hamid kemudian membukakan jendela.
“Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.
Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.
“Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.
Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.

Gus Miek Bertemu KH. Mas’ud, Pagerwojo
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.


Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan doa dan dibacakan Al-fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.

“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta doa. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendpatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.
Begitu Gus ‘Ud selesai mengucapkan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’I dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’I tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’I iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalanya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dari sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.

Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di ruamh, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan  dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Syafi’I di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alami. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Gus Miek Bertemu KH. Dalhar, Watucongol
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah pendidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
KH. Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Jawa Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.
Awal kedatangannya di Watucongol pada 1954, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian, membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.

KH. Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH. Dalhar, terutama dalam hal kapasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al Fatehah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya mengamalkan Al Fatehah.

Barangkali karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al Fatehah kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al Fatehah saja. Dan, bisa jadi inilah yang mengilhami Gus Miek (di samping ijasah yang diberikan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada 1973..

KH. Dalhar,bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah KH. Dalhar, dan menatanya untuk lebih mudah dipakai ketika KH. Dalhar naik ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah. Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah. Oleh karena itu, dalam rangka melatih keistiqomahannya, Gus Miek memulai dengan istiqomah membersihkan dan menata terompah KH. Dalhar gurunya.
Pernah, di suatu hari, Gus Miek menemukan trompah KH. Dalhar yang biasanya ada di depan kamar ada dua buah yang sama persis baik ukuran maupun bentuknya sehingga ia tidak bisa membedakannya. Bungkul (tangkai tempat menjepit antara jari kaki) terompah KH. Dalhar terbuat dari emas, terompah yang satu juga sama. Akhirnya, ia membersihkan dan menata keduanya sambil menunggu siapakah tamu gurunya itu. Sekian lama ia menunggu sampai terkantuk-kantuk, tetapi terompah itu tetap dua buah jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena, terompah itu tinggal satu. Ia terkejut, kemudian berlari jauh keluar pondok untuk melihat tamu tersebut sepanjang jalan sehingga nafasnya tersengal-sengal. Tetapi, jalan tampak sepi dan tidak ada seorang pun terlihat melintas. Padahal, menurut perkiraan Gus Miek, orang tua yang berjalan memakai terompah itu pasti belum jauh dan seharusnya sudah terkejar atau justru berada jauh di belakangnya.

Esok harinya, Gus Miek menemui KH. Dalhar yang baru turun dari masjid memimpin jama’ah shalat Zuhur, sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya: “Maaf, Guru, tamu Guru tadi malam itu siapa?”
KH. Dalhar tidak menjawab, sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum mendapatkan jawaban. Gus Miek tetap duduk menunggu jawaban dari KH. Dalhar. Ketika KH. Dalhar beranjak ke masjid untuk mengimami shalat Ashar, ia mengikutinya untuk menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH. Dalhar kembali ke kamar, Gus Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di depan kamar untuk menunggu jawaban. Demikian juga ketika saat tiba waktu shalat Maghrib dan Isya. Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH. Dalhar menyuruh pembantunya memberi tahu bahwa tamunya semalam adalah Nabi Khidir. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah ia mau beranjak dari tempat duduknya. Menurut keterangan Nyai Dalhar, dari sekian banyak santri KH. Dalhar, hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan masuk ke kamar KH. Dalhar.

Kegiatan Gus Miek di Watucongol selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga tetap sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus Mad, putra KH. Dalhar, yang kebetulan saat itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok karena Gus Miek dianggap sering tidak disiplin. Sedangkan santri yang sering menemani Gus Miek saat di Watucongol adalah Bakri (KH.Bakri), kini pengasuh Pesantren Al Qur’an, Jampiroso, Kacangan, Boyolali.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di tempat KH. Dalhar karena dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat KH. Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan meninggal sekitar 23 Ramadhan 1959, begitu semua datang ke Watucongol, ternyata KH. Dalhar masih sehat. Tercatat di antara orang-orang yang pergi ke Watucongol adalah KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus Miek).
Pernah KH. Djazuli menugaskan Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol mewakili KH. Djazuli untuk menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke Watucongol. Di Watucongol, Gus Huda di samping menyerahkan adik-adiknya kepada KH. Dalhar sebagaimana amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila  adiknya, Gus Miek, banyak melakukan kekeliruan di Watucongol. Tetapi, jawab KH. Dalhar waktu itu justru sangat mengejutkan Gus Huda, “Gus Miek itu difatihahi mental,” jawab KH. Dalhar. Gus Huda hanya tersenyum karena dia sudah paham akan adiknya yang satu itu.
Dalam versi yang lain diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan Gus Miek, tetapi kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh KH. Djazuli agar mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek masih duduk di teras dengan hanya memakai celana pendek.
“Mau ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.
“Aku disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.
Keduanya kemudian berangkat dengan naik kereta api. Sesampainya di Watucongol, ternyata Gus Miek sudah berada di teras pondok dengan pakaian masih seperti tadi pagi ketika di kediri.
“Kenapa di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.
“Mengantar kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.
“Aku tidak mau kalau pakaianmu seperti itu,” jawab Gus Huda sambil memberikan pakaiannya ke pada Gus Miek untuk berganti pakaian.
Mereka bertiga kemudian sowan. Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan memilih kamar dan setelah itu hilang entah ke mana dengan meninggalkan pakaian Gus Huda.
Akhirnya, semua memburu Gus Miek karena dianggap telah berbohong perihal kematian KH. Dalhar. Tetapi semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan 1959, KH. Dalhar benar-benar meninggal dunia.

GUS MIEK BERTEMU KH. AHMAD SIDDIQ
Selain cerita sebagaimana yang telah diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu mnyerang Gus Miek sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.
Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar: “Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato! Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”
KH. Ahmad Siddiq saat berada di Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah  dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”
Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk membela Gus Miek. “Benar,” jawab Amar.

“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq. ”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq. “Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri. Bukan kiai, “jawab Amar. KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh besar. Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus Miek. Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya. Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan (yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek, sebagaimana yang telah diceritakan di muka. Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib. “Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq. “Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahamad Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya. “Aku hanya ingin bertanya apakah yang telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq. Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam dan tidak memberi jawaban. KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib saja yang bisa menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan membunuh Amar. Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras) dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggab menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali. Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu. Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya, bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri lirboyo agar tak ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan sampai sekarang. Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga ploso yang awalnya mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah. Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU disebabkan ia bukan bagian dari jajaran pengurus NU. Gus Miek juga memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU, terutama dalam hal politik. Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat pembicaraan empat mata yang sangat serius selama hamper tujuh jam. Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq; walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintk keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi. Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung. “Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq. “Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar. “Ibarat aku berada di puncak gunung, aku ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq. Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat pembicaraan serius  mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984, pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo. Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya dengan para wali, lalu membaca bacaan itu. KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya. Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”
Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, yang punya Fiat, bersama sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai Mujib, hanya mengiyakan saja.
Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari, yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan, Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah dengan Hadi bin Ismail. Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah. Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam KH. Abdurrhman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim (Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.

Di pinggir sungai, Gus Miek berkata kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah.

Gus Miek Bertemu KH. Hamid Kajoran
Awal pertemuan Gus Miek dengan KH. Hamid Kajoran bisa dikatakan berawal dari rumah KH. Ashari, Lempuyangan karena saat itu KH. Hamid Kajoran aktif mengikuti kegiatan mujahadah yang diadakan oleh KH. Ashari, dan Gus Miek sangat dekat dengan keluarga KH. Ashari. Apalagi pada waktu-waktu selanjutnya, KH. Hamid Kajoran menjadi besan dari KH. Ashari.
Dalam dakwahnya di Semarang, Gus Miek mengalami berbagai hambatan sehingga dakwahnya tersebut belum bias maksimal. Di antara hambatan itu adalah besarnya pengaruh trio wali Jawa Tengah, yakni KH. Dalhar Watucongol, KH. Muslih Mranggen, Demak, dan KH. Hamid Kajoran, Magelang. Melihat kenyataan ini, hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat Islam di Jawa Tengah tentu tidak akan mudah menerima keberadaan Gus Miek dengan gaya dakwahnya.

Suatu hari, di Semarang, rombongan KH. Hamid Kajoran dan Khozin Abdullah usai menghadiri acara mauludan di rumah Gus Mad Watucongol, berusaha mengejar Gus Miek yang tengah berada di masjid Kauman, Semarang. Tetapi, Gus Miek yang tinggal di rumah Jauhari sedang keluar bersama Muntad. Karena lama menunggu Gus Miek belum juga datang, KH. Hamid berpamitan dan meninggalkan pesan untuk Gus Miek pada para Huffazh yang berada di situ. Esok harinya, mereka tetap tidak bisa bertemu Gus Miek karena Gus Miek telah berangkat ke Jawa Timur.

Hujan masih turun dengan derasnya di malam itu ketika Gus Miek beserta rombongan pulang dari pasar malam di Bondowoso. Tiba di depan pasar malam Arjasa, Gus Miek berhenti mampir di sebuah warung kopi dengan pelayan seorang perempuan tua. Setelah beberapa saat, Gus Miek berkata: “Aku tertarik dengan orang itu karena dua hal; pertama, orang itu ganteng dan simpatik; kedua, aku kasihan sama orang itu.”
Rombongan KH. Hamid Kajoran, yang beberapa bulan sebelumnya gagal bertemu dengan Gus Miek di Semarang, berusaha mencari Gus Miek lagi. Kali ini dengan rombongan dari Yogyakarta untuk mencari Gus Miek ke Pasuruan. Dalam rombongan itu ada Hadi Mustadi, KH. Daldiri beserta istri, dan Nyai Hamid Kajoran. Rombongan tersebut akhirnya bertemu dengan Gus Miek di perempatan Mojoagung, Jombang.
Gus Miek mengajak rombongan KH. Hamid ke salah satu warung. Setelah beberapa lama mengobrol, Gus  Miek menyuruh KH. Hamid dan KH. Daldiri beserta istri mengunjungi salah seorang habib di Panggul, sementara Gus Miek, Nyai Hamid, dan Hadi Mustadi langsung ke Setonogedong untuk ziarah.
Karena di Setonogedong belum ada listrik, ziarah terpaksa memakai senter. Dari Setonogedong dilanjutkan ke makam KH. Zaenudin, Mojosari. Sebelum pulang, Hadi Mustadi yang menderita gula, mengadukan penyakitnya kepada Gus Miek. Gus Miek kemudian memberi dia obat.

Beberapa minggu kemudian, Gus Miek datang ke Yogyakarta dan menginap di Hotel Utara selama beberapa hari untuk mengkoordinir para jama’ah yang semakin bertambah di Kota Gudeg tersebut. Setelah di Yogyakarta, Gus Miek melanjutkan perjalanannya ke Semarang. Ada satu cerita yang berkenaan dengan KH. Hamid Kajoran saat di Semarang ini. Suatu hari, saat Khozin (pengikut Gus Miek yang rumahnya dijadikan mangkal Gus Miek dan jama’ahnya di Semarang) sedang bekerja sebagai tukang jahit. Tiba-tiba ada tamu memakai baju Eropa (Belanda) berwarna putih lengkap dengan topi klopnya, masuk begitu saja tanpa permisi. Khozin membiarkan saja karena mengira tamu itu orang yang hendak memesan baju.
”Mas Khozin, minta es. Aku haus,” kata tamu itu.
Khozin terkejut karena tamunya ternyata KH. Hamid Kajoran. Khozin pun segera mengambilkan minum.
“Dari mana Kiai?” Tanya Khozin sambil sambil memberikan minum.
“Gus Miek itu payah, aku “digarap.” Aku bertemu Gus Miek di jalan, lalu disuruh melepas sarung dan berganti baju Belanda dan diajak main (berjudi) ke THR. Menang banyak, tapi ia bagikan semuanya kepada tukang becak di sepanjang jalan. Di jalan, bertemu mobil pickup yang isinya penuh cewek artis. Semuanya memanggil Gus Miek, Papi. Gus Miek menyuruhku langsung ke kauman, sementara dia langsung naik mobil berbaur cewek-cewek itu. Payah, kalau aku bertemu jama’ahku dengan pakaian seperti ini, mau aku taruh di mana mukaku,” jawab KH. Hamid Kajoran berapi-api. Khozin hanya tertawa mendengarnya.
Selanjudnya, Gus Miek meninggalkan Semarang dan meminta bantuan KH. Hamid Kajoran untuk “menggarap” wilayah Semarang dengan pusat gerakan di Kauman. Hal ini dilakukan karena KH. Hamid Kajoran sangat dihormati dan disegani, dan yang pasti bisa diterima di wilayah Jawa Tengah.

Gus Miek Bertemu KH. Mubasyir Mundzir
Bisa dikatakan bahwa KH. Munbasyir Mundzir adalah orang nomor satu yang berdiri di belakang Gus Miek. Ia tokoh yang tak pernah meragukan kebenaran langkah Gus Miek, membela Gus Miek ketika orang tua Gus Miek sendiri masih meragukannya, dan selalu mendukung perjuangan Gus Miek apa pun bentuknya. Di samping itu, ia juga tokoh yang menjadi saksi hidup Jam’iyah Lailiyah dan Dzikrul Ghofilin.
Suatu ketika, KH. Djazuli yang telah mengenal KH. Mundzir sebagai seorang yang alim dan luas pandangannya serta termasyhur sebagai seorang wali yang memiliki kemampuan melihat tanda-tanda kelahiran wali kemudian bertanya kepada KH. Mundzir: “Kiai, bagaimana dengan anak saya itu?”
“Yang mana, Kiai?” KH. Mundzir balik bertanya.
“Amiek itu lho, Kiai,” jawab KH. Djazuli.
“Oh itu, biarkan. Barkan saja dia. Tinggi, tinggi derajatnya nanti,” KH. Mundzir menjawab dengan serius.
Di luar pengajiannya, Gus Miek bersama KH. Mubasyir Mundzir aktif di Bandar untuk membantu perjuangan Wahidiyah milik KH. Abdul Madjid. Ketiga kiai ini saat itu terkenal sebagai trio auliya Kediri yang sangat akrab dan saling membantu satu sama lain. Mereka sering mengadakan pertemuan untuk membahas berbagai permasalahan umat. Ketika KH. Abdul Madjid mendapatkan penentangan yang luar biasa dari KH. Mahrus Ali, KH. Mundzir dan Gus Miek selalu membela dan mendukung perjuangannya. Dalam setiap acara pertemuan, baik yang hanya terdiri dari beberapa orang maupun ratusan orang, Gus Miek selalu mendapatkan bagian memimpin doa, sementara yang lain mengamini.
Seiring dengan berjalannya waktu, KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Miek merasa bahwa perjuangan KH. Abdul Madjid dengan Wahidiyahnya telah bias berjalan tanpa bantuan dan dukungan keduanya lagi. Keduanya merasa bahwa sudah waktunya untuk menentukan wilayah perjuangan masing-masing. Dalam perbincangannya dengan Gus Miek, akhirnya KH. Mubasyir Mundzir berniat mendirikan pondok pesantren sendiri di Bandar, Kediri, sementara Gus Miek masih mencari tempat dan waktu yang cocok untuk memulai.
Di samping alasan di atas, hal yang paling mendasar yang menjadi alas an pecahnya trio wali dalam tataran wilayah perjuangan itu disebabkan munculnya ketidaksepahaman antara kubu KH. Abdul Madjid dengan kubu KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Miek. Perlu dicatat bahwa ketidaksepahaman ini hanya sebatas pada “metode perjuangan dan sasaran perjuangan” dan tidak sampai pada permusuhan pribadi. Hal ini terlihat dari hubungan di antara kedua kubu itu masih tetap terjalin di mana KH. Abdul Madjid masih sering menghadiri kegiatan yang diadakan Gus Miek. Sementara KH. Mubasyir Mundzir dengan Gus Miek telah sedemikian mesra seperti kakak dan adik.
Amar dan Katsir Siroj pernah menemani Gus Miek ke Setonogedong. Keduanya duduk-duduk di serambi masjid, sedang Gus Miek berada di rumah mertunaya. Tiba-tiba KH. Mubasyr Mundzir datang menemui keduanya.
“Ini anak ploso ya? Masya Allah, Gus Miek itu jadzab seumur hidup. Gus MIek, kalau menyuruh tidak shalat, kamu tetap shalat. Itu nanti yang akan dihisab. Gus Miek itu kalau menjalankan shalat, justru tidak sah sebab Gus Miek gila kepada Allah. Kamu kalau diajak ke tempat orang nakal, jangan ikut menjadi nakal. Sebab Gus Miek di tempat orang nakal itu yang terlihat hanya Allah,” kata KH. Mubasyir Mundzir.
Amar dan Katsir Siroj hanya terdiam. KH. Mubsyir Mundzir pun kemudian berlalu. Tidak lama kemudian, amar hanya tersenyum-senyum karena ia yang paling sering diajak ke tempat orang nakal. Berbeda dengan Katsir Siroj yang belum pernah diajak ke tempat seperti itu.

Gus Miek Bertemu Mbah Jogoreso
Pada masa itu, Mbah Jogoreso terkenal sebagai seorang wali yang nyentrik. Bila menemui tamu yang dating ke rumahnya, selalu berpakaian sedapatnya, terkadang tidak memakai baju, bahkan kain sarungnya pun tidak jarang tersingkap menampakkan auratnya. Ketika Gus Miek yang sowan, Mbah Jogoreso berpakaian sangat rapi bahkan duduk dan bertutur kata pun sangat sopan.
Bila ada orang yang akan dekat dengan Allah, atau orang itu akan menjadi orang yang besar, tamu itu akan diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan oleh Mbah Jogoreso. Tetapi, bila akan mengalami keburukan atau menjadi orang durhaka akan diuji dengan sesuatu yang menyenangkan.
Suatu hari, Gus Miek bersama Hamim Hasyim, Kemayan, Kediri, menemui Mbah Jogoreso, Gus Miek ditempeleng dengan sangat keras oleh Mbah Jogoreso sehingga pipinya tampak memerah. Gus Miek kemudian mundur agak menjauh dari Mbah Jogoreso. Tetapi, Nyai Jogoreso yang saat itu berada di samping pintu justru menyuruh Gus Miek maju.
“Gus, sampean maju lagi,” kata Nyai Jogoreso.

Gus Miek pun maju lagi lebih dekat, tetapi kembali ditempeleng lebih keras lagi sehingga matanya tampak berkaca-kaca menahan sakit. Gus Miek mundur, tetapi Nyai Jogoreso kembali menyuruhnya maju, bahkan lebih dekat lagi. Kembali Mbah Jogoreso menempeleng Gus Miek untuk yang ketiga kali, sehingga wajahnya tampak semakin merah. Setelah ditempeleng untuk yang ketiga kalinya, dan Gus Miek berniat maju lagi, Nyai Jogoreso mencegahnya.
”Sudah, Gus. Sudah cukup,” kata Nyai Jogoreso.
Ketika akan berpamitan pulang, Mbah Jogoreso memeluk  Gus Miek cukup lama.
Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama KH. Hamid Kajoran berkunjung ke Watucongol.
“Mbah, mari ke Gunungpring!” ajak Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.
“Mari,” jawab KH. Hamid.
Tiba di Gunungpring waktu hampir Ashar. Menaiki tangga jalan menuju makam yang panjang dan mendaki, Gus Miek menyuruh Sunyoto memapah KH. Hamid Kajoran. Di makam KH. Dalhar, Gus Miek memimpin tawasulan dan doa.

“Mbah, mari ke Mbah Jogo,” ajak Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.
KH. Hamid pun mengiyakan. Tiba di ruamh Mbah Jogoreso, Gus Miek tiba-tiba menyelinap entah kemana, sementara KH. Hamid Kajoran dan Mulyadi sudah telanjur masuk, sementara Sunyoto hanya ada di luar menunggu Gus Miek. Tampak KH. Hamid duduk berbincang dengan Nyai Jogoreso dengan menunduk penuh hormat, sementara Mulyadi hanya diam saja.
Tiba-tiba Gus Miek masuk tanpa memakai peci, menepuk lutut Nyai Jogoreso yang saat itu duduk di kursi di seberang KH. Hamid.
“Mbah, saya akan berdoa, diamini ya?” kata Gus Miek, lalu berdoa sambil tetap berdiri. Nyai Jogoreso mengamini doa Gus Miek dan menjerit-jerit menyebut nama Allah, membuat Mulyadi dan Sunyoto merinding mendengarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar