Alkisah, ada seorang gembala berjiwa bebas yang tidak memiliki baik
uang atau pun keinginan untuk mempunyai uang. Segala yang dimilikinya
hanyalahh hati yang murni dan baik, hati yang mengalahkan apapun, yang
berdenyut dengan cinta hanya untuk Tuhannya.
Sepanjang hari ia berjalan riang dengan gembalaannya melintasi padang
rumput, dataran hijau, dan hamparan bunga, bernyanyi dan berbicara
sepanjang waktu kepada Tuhan Kekasihnya:
“Oh, Tuhan, dimanakah gerangan Engkau?
Kepada siapa gerangan aku mengabdikan hidupku?
Oh Tuhan, untuk siapa aku hidup dan bernafas,
karena kasih karunia-Mu lah aku ada,
betapa aku rela mengorbankan dombaku untuk berjumpa denganMu.”
karena kasih karunia-Mu lah aku ada,
betapa aku rela mengorbankan dombaku untuk berjumpa denganMu.”
Arakian, pada suatu hari Nabi Musa as melewati padang rerumputan yang
luas terhampar dalam perjalanannya ke kota. Baginda melihat gembala,
yang sedang duduk bersama gembalaannya dengan wajahnya menengadah ke
langit, memuja Allah:
“Ooo, Di manakah Engkau sehingga aku bisa menjahit pakaianMu, memperbaiki kaus kakiMu, dan merapikan tempat tidurMu? Dimana Engkau sehingga aku bisa menyisir rambutMu dan mencium kakiMu? Dimana Engkau sehingga aku dapat menyemir sepatuMu dan membawakan kepadaMu susu untuk Kauminum? “
“Ooo, Di manakah Engkau sehingga aku bisa menjahit pakaianMu, memperbaiki kaus kakiMu, dan merapikan tempat tidurMu? Dimana Engkau sehingga aku bisa menyisir rambutMu dan mencium kakiMu? Dimana Engkau sehingga aku dapat menyemir sepatuMu dan membawakan kepadaMu susu untuk Kauminum? “
Musa as mendekati gembala itu dan bertanya, “Siapakah yang kau ajak bicara?”
“Aku bicara pada Dia yang telah menciptakan kita. Dia Tuhan pencipta siang danmalam, bumi dan langit. “
“Aku bicara pada Dia yang telah menciptakan kita. Dia Tuhan pencipta siang danmalam, bumi dan langit. “
Musa as marah dengan jawaban gembala tersebut. “Beraninya kau bicara
kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kau katakan adalah penghujatan.Kau
harus sumpal kapas di mulutmu jika kamu tidak dapat mengontrol lidahmu.
Maka, setidaknya, tidak ada yang akan mendengar kata-kata keterlaluan
penuh hina dariMu yang telah meracuni atmosfir di sini. Kamu harus
berhenti berbicara seperti itu sekaligus, supaya Yang Mahakuasa tidaklah
menghukum seluruh umat manusia karena dosa-dosamu! “
Sang gembala, yang telah muncul setelah menyadari bahawa Baginda
adalah Sang Nabii, berdiri terguncang. Dengan air mata mengalir di
pipinya, ia mendengarkan kata-kata lanjutan Musa as: “Apakah Allah SWT
seorang manusia biasa sehingga Dia harus memakai sepatu dan kaus kaki?
Apakah Dia bayi membutuhkan susu untuk membuat Dia tumbuh? Tentu saja
tidak! Allah tak terbatas dan tak perlukan itu semua! Dengan berbicara
kepadaTuhan seperti yang kau lakukan, aibmu tidak hanya bagi diri
sendiri tapi semua makhluk Allah. Kamu tidak lain hanyalah sebuah
penghancur agama dan musuh Allah. Pergi dan bertobatlah, jika kamu masih
memiliki akal sehat! “
Gembala yang sederhana tidak benar-benar mengerti apa yang ia katakan
kepada Allah SWT itu sebagai kasar seperti menurut Nabi Musa, atau
mengapa Nabi telah memanggilnya musuh. Namun ia tahu bahwa seorang nabi
Allah pastilah tahu lebih baik daripada orang lain. Hampir tidak bisa
menahan isak tangis, ia mengatakan kepada Musa as, “Anda telah membakar
jiwaku. Mulai sekarang mulutku disegel “Dengan menarik napas panjang,
maka ia pun berpaling dari domba-dombanya dan berjalan menuju padang
pasir.
Nabi Musa sambil melanjutkan perjalanannya pun bersyukur bahwa ia
telah memperbaiki seseorang. Lalu, nabi Musa as melanjutkan
perjalanannya menuju kota sambil kemudian Allah SWT berkata kepadanya:
“Kenapa kau datang antara Kami, di antara hamba setiaKu? Mengapa
Engkau memisahkan kekasih dari Kekasih? Aku telah mengirimMu sehingga
Engkau bisa menyatukan satu sama lain, tidak memutuskan hubungan
mereka.”
Musa mendengarkan kata-kata Illahi tersebut dengan kagum dan kerendahan hati.
“Kami tidak menciptakan dunia ini dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan dari itu, penciptaan adalah untuk kepentingan makhluk. Kami tidak membutuhkan pujian atau penyembahan, jamaah makhluklah yang mendapatkan manfaat darinya. Ingat bahwa dalam Cinta, kata-kata hanyalah kulit luar dan tak berarti apa-apa. Aku tidak memperhatikan keindahan frase atau komposisi kalimat. Aku hanya melihat bagian yang terdalam dalam batin. Dengan cara yang demikian Ku-tahu ketulusan makhluk, meskipun kata-kata mereka mungkin polos (tak bermakna). Bagi mereka yang terbakar dengan Cinta maka telah terbakar pula kata-kata mereka.”
“Kami tidak menciptakan dunia ini dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan dari itu, penciptaan adalah untuk kepentingan makhluk. Kami tidak membutuhkan pujian atau penyembahan, jamaah makhluklah yang mendapatkan manfaat darinya. Ingat bahwa dalam Cinta, kata-kata hanyalah kulit luar dan tak berarti apa-apa. Aku tidak memperhatikan keindahan frase atau komposisi kalimat. Aku hanya melihat bagian yang terdalam dalam batin. Dengan cara yang demikian Ku-tahu ketulusan makhluk, meskipun kata-kata mereka mungkin polos (tak bermakna). Bagi mereka yang terbakar dengan Cinta maka telah terbakar pula kata-kata mereka.”
Allah SWT melanjutkan:
“Mereka yang terikat oleh kepatutan tidak seperti orang-orang yang terikat dalam Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab kekasih tidak mengenal agama selain Sang Kekasih sendiri.”
“Mereka yang terikat oleh kepatutan tidak seperti orang-orang yang terikat dalam Cinta, dan bangsa agama bukanlah bangsa Cinta, sebab kekasih tidak mengenal agama selain Sang Kekasih sendiri.”
Tuhan mengajarkan demikian, mengajarkan kepada Nabi Musa as rahasia
Cinta, dan sekarang ia mengerti kekurangannya, maka Nabi menyesali
ucapannya. Dan sehingga ia bergegas untuk menemui gembala itu lagi dan
meminta maaf.
Selama berhari-hari Baginda as berjalan-jalan di padang rumput dan
gurun, bertanya kepada orang-orang apakah mereka melihat sang gembala.
Masing-masing menunjuk ke arah yang berbeda. Tampaknya pencarian
sia-sia, tetapi akhirnya Musa tiba juga berjumpa dengan sang gembala,
pakaiannya telah robek dan berantakan. Dia dalam keadaan meditasi yang
mendalam dan tidak melihat Musa, yang menunggu waktu yang lama untuk
menyapanya.
Akhirnya sang gembala mengangkat kepalanya dan memandang Nabi.
“Aku memiliki pesan penting bagiMu.” Kata Musa. “Tuhan telah berbicara, dan Dia mengatakan kepadaku bahwa tidak perlu etiket bagimu berbicara kepada Tuhan. Kau bebas untuk berbicara kepada-Nya dalam cara apapun yang Kau suka, dengan kata-kata yang Kau dapat memilihnya. Apa yang aku tadinya kira adalah penghujatanmu, sebenarnya adalah iman dan kasih yang menyelamatkan dunia.”
Akhirnya sang gembala mengangkat kepalanya dan memandang Nabi.
“Aku memiliki pesan penting bagiMu.” Kata Musa. “Tuhan telah berbicara, dan Dia mengatakan kepadaku bahwa tidak perlu etiket bagimu berbicara kepada Tuhan. Kau bebas untuk berbicara kepada-Nya dalam cara apapun yang Kau suka, dengan kata-kata yang Kau dapat memilihnya. Apa yang aku tadinya kira adalah penghujatanmu, sebenarnya adalah iman dan kasih yang menyelamatkan dunia.”
Sang gembala hanya menjawab: “Saya telah melewati tahap kata-kata dan
frase. Hatiku kini diterangi dengan kehadiran-Nya. Saya tidak bisa
menjelaskan kondisi saya kepada engkau. Juga tak dapat menggambarkan
kata-kata untuk orang lain.” Gembala itu kemudian bangkit dan memulai
perjalanannya lagi..
Nabi Musa as menatap menyaksikan sosok gembala sampai ia tak bisa
melihatnya lagi. Kemudian ia berangkat meneruskan perjalanan ke kota
terdekat, mengagumi pelajaran yang diterimanya dari seorang penyembah
buta huruf yang sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar