Disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ali At-Tanukhi, dia
mengatakan: Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang terkenal
zuhud dan kuat ibadatnya, dialah Labib Al-Abid. Dia datang ke
pintu gerbang negeri Syam dari arah barat kota Baghdad,
sebuah tempat yang menjadi tujuan orang banyak.
Labib kemudian berkata kepadaku: Dahulu aku adalah
seorang budak Roma, milik salah seorang tentara. Dialah
yang merawat dan mengajarku cara bermain pedang sehingga aku
pun mahir memainkannya sehingga merasa benar-benar lihai.
Demi menjalin persaudaraan dan untuk mengawal
hartanya, walaupun aku telah dimerdekakan sepeninggalnya, aku
kemudian menikahi isterinya. Aku yakin, Allah SWT. telah
mengetahui bahwa apa yang kuperbuat itu tiada lain
sekadar untuk menjaganya. Aku tinggal bersamanya
beberapa tahun.
Selama hidup berumahtangga dengannya, suatu hari
kulihat seekor ular menyelinap dalam kamar kami. Aku lalu
memegang ekornya untuk kubunuh, tetapi ular itu justeru berbalik
menyerangku dan berhasil menggigit tanganku hingga
menjadi lumpuh. Setelah tanganku yang satu mengalami
kelumpuhan, selang beberapa waktu kemudian tanganku
yang lain menyusul lumpuh pula tanpa sebab- sebab
yang jelas. Seterusnya kedua kakiku juga lumpuh,
mataku menjadi buta dan terakhir aku menjadi bisu. Kemalangan
ini kualami selama satu tahun.
Demikianlah keadaanku yang sangat buruk, kecuali
hanya telingaku yang masih mampu menangkap segala pembicaraan.
Aku tergeletak tiada berdaya: Aku selalu diberi minum saat
aku merasa tidak dahaga, sementara itu dibiarkan
kehausan saat aku kenyang, dan dibiarkan ketika aku
merasa lapar.
Setelah berjalan satu tahun, datanglah seorang wanita menjumpai
isteriku. Dia bertanya kepada isteriku, “Bagaimana
keadaan Abu Ali Labib?”
“Dia tidak hidup dan tidak juga mati, sehingga hal ini membuatku
bimbang dan hatiku menjadi sangat sedih,” jawab
isteriku.
Mendengar hal itu, dalam hatiku lalu mengadu
kepada Allah dan berdoa. Dalam keadaan menderita
sakit yang seperti ini sedikit pun dalam jiwaku tidak merasakan
sesuatu.
Pada suatu hari, aku merasa seakan-akan menerima
pukulan sangat keras yang hampir membuatku mati. Hal
itu terus berlangsung hingga tengah malam atau mungkin sudah
lewat tengah malam, kemudian sedikit demi sedikit rasa sakitku
ini mula hilang, akhirnya aku dapat tidur.
Keesokan hari ketika terjaga dari tidur, kurasakan
tangan ini telah berada di atas dada, padahal selama
ini tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur karena mengalami
kelumpuhan. Kucoba untuk bergerak dan ternyata
berhasil. Melihat hal ini, aku merasa gembira dan
yakin bahawa Allah akan memberikan kesembuhan.
Kucoba menggerakkan tanganku yang lain dan ternyata
dapat kugerakkan pula.
Aku juga mencoba memegang salah satu kakiku dan
berhasil memegangnya, dan kukembalikan tanganku pada keadaan
semula, hal ini kulakukan pula pada tanganku yang lain.
Setelah itu aku ingin mencoba membalikkan tubuhku dan
ternyata dapat kubalikkan dan bahkan aku mampu
duduk lagi. Kemudian, aku bermaksud untuk berdiri
dan ternyata aku juga mampu melakukannya, lalu
kucoba lagi turun dari pembaringan, yang selama ini tubuhku
terbaring. Tempat tidurku itu berada di sebuah kamar yang ada
di rumahku.
Dalam kegelapan aku mencoba untuk mencari pintu
bilik dengan meraba-raba dinding kamar, sebab mataku belum
dapat melihat dengan terang. Akhirnya aku berhasil mencapai teras
rumah dan di sana aku dapat memandang langit dan
bintang-gemintang yang berkedip. Karena luapan
kegembiraan yang tiada terkira hampir menghentikan
detak jantungku, dan segera terlontar dari bibirku
rasa syukur kepada-Nya:
“Wahai Zat Yang Maha Kaya Kebaikan-Nya! Hanya Milik-Mulah segala puji.”
“Wahai Zat Yang Maha Kaya Kebaikan-Nya! Hanya Milik-Mulah segala puji.”
Setelah itu aku pun berteriak memanggil isteriku dan dia segera datang menemuiku seraya berkata, “Abu Ali?”
“Sekarang inilah aku menjadi Abu Ali yang sebenarnya. Dan kini nyalakanlah lampu,” kataku kepadanya.
Isteriku segera pula menyalakan lampu, dan
kemudian kuperintahkan kepadanya untuk mengambilkan sebuah gunting.
Dia pun datang dengan membawa gunting yang
kumaksud, dengan gunting itulah kupotong kumisku. Isteriku lalu
berkata kepadaku, “Apa yang hendak kamu lakukan? Bukankah
teman-temanmu telah mencelamu?”
“Setelah ini, aku tidak akan melayani seorang pun kecuali hanya Tuhanku semata-mata,” jawabku.
Seterusnya kugunakan seluruh waktuku untuk
menghadap kepada Allah SWT. dan tekun beribadat. Al-Qadhi Abu
Ali meneruskan ceritanya kembali, bahwa Abu Ali Labib Al Abib
adalah seorang yang mustajab doanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar