Rabu, 23 November 2016
Selasa, 18 Oktober 2016
Minggu, 02 Oktober 2016
Harta Tidak Menjamin Masa Tua Bahagaia
Kisah seorang ayah :
Seorang bapak yang kira-kira berusia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.
_“Dik hendak ke Jogja juga?”_
_“Saya mau ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”_
_“Iya.”_
_“Bapak sendiri?”_
_“Iya.”_ Senyumnya datar. Menghela napaspanjang._ “Dik kerja di mana?”_
_“Saya serabutan, Pak,”_ sahut saya sekenanya.
_“Serabutan tapi mapan, ya?”_ Ia tersenyum. _“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”_
Saya tertegun. _“Kok begitu, Pak?”_
Ia pun mengisahkan, istrinya yang telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan, bekerja di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.
Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang dihuni olehnya dan seorang satpam, dua orang pembantu dan, seorang sopir pribadinya, ia menyeka air mata di kelopak matanya dengan tisue.
_“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahim, dan berbakti pada orang tua._
_Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk, iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid. Tes di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”_
_“Bapak, Bapak yang sabar ya….!”_
Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut.
_“Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik..._
_Meski terlambat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni *sangkan paraning dumadi*. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak ada yang hakiki..._
_Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya….”_
Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya. Spontan saya memeluk Bapak tersebut. Tak sadar air mataku berderai, bapak tua tersebut juga meneteskan air matanya.
......kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya adalah agar menjadi orang sholeh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin Tuhan-Nya, tapi tidak ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yang harus berusaha untuk mendidik dan menanamkan
keimanan. Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri ini begitu kecil lemah, dan tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
*semoga bermanfaat*
Seorang bapak yang kira-kira berusia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.
_“Dik hendak ke Jogja juga?”_
_“Saya mau ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”_
_“Iya.”_
_“Bapak sendiri?”_
_“Iya.”_ Senyumnya datar. Menghela napaspanjang._ “Dik kerja di mana?”_
_“Saya serabutan, Pak,”_ sahut saya sekenanya.
_“Serabutan tapi mapan, ya?”_ Ia tersenyum. _“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”_
Saya tertegun. _“Kok begitu, Pak?”_
Ia pun mengisahkan, istrinya yang telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan, bekerja di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.
Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang dihuni olehnya dan seorang satpam, dua orang pembantu dan, seorang sopir pribadinya, ia menyeka air mata di kelopak matanya dengan tisue.
_“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahim, dan berbakti pada orang tua._
_Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk, iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid. Tes di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”_
_“Bapak, Bapak yang sabar ya….!”_
Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut.
_“Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik..._
_Meski terlambat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni *sangkan paraning dumadi*. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak ada yang hakiki..._
_Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya….”_
Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya. Spontan saya memeluk Bapak tersebut. Tak sadar air mataku berderai, bapak tua tersebut juga meneteskan air matanya.
......kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya adalah agar menjadi orang sholeh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin Tuhan-Nya, tapi tidak ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yang harus berusaha untuk mendidik dan menanamkan
keimanan. Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri ini begitu kecil lemah, dan tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
*semoga bermanfaat*
Selasa, 20 September 2016
Rezeki Lancar Karena Membiayai Penuntut Ilmu Agama
Tidak semua dari kita jalan jihad dan
memperjuangkan agama Islam dengan menjadi ustadz/ulama yang mendalami agama.
Karena bisa jadi kita tidak dikarunia oleh Allah kelebihan dalam berfikir, mendalami
dan menghapal berbagai ilmu agama. Sebaliknya ada yang dikaruniai oleh Allah
kemampaun mencari rezeki, berbisnis dan mengelola keuangan. Sebagaimana para
sahabat tidak semua menjadi ulama, akan tetapi ada yang memperjuangkan Islam
dan dakwah dengan menjaga perbatasan (ribath) seperti Bilal bin Rabah,
ada yang menjadi saudagar kaya yang sangat darmawan seperti Usman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf dan ada juga yang menjadi ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu
umar dan Ibnu Mas’ud rahimahumullah.
Bagi yang memiliki kemampuan berbisnis atau
memiliki kelebihan harta maka ia bisa ikut memperjuangkan Islam dan dakwah
dengan kelebihan harta mereka, salah satunya dengan meng infaqkan sebagian
hartanya dan membiayai penuntut ilmu agama yang benar-benar punya semangat
mempelajari ilmu agama akan tetapi mereka mendapati kesulitan biaya.
Hal ini mempunyai beberapa keutamaan:
1.Mendapatkan juga pahala yang terus
mengalir sampai hari kiamat (MLM pahala)
Karena yang membiayai penuntut ilmu
belajar agama juga mempunyai peran. Ketika penuntut ilmu yang dibiayai mengajarkan
ilmu kepada orang lain atau memberikan hidayah ilmu kepada orang lain, maka
pahala mengalir juga kepada yang mengajarkan/ yang menunjukkan ketikayang
diajarkan/ditunjukkan mempraktekan ilmu atau mengajarkan kepada yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ
أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada
sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berasabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berasabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ
الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ
مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada sebuah
petunjuk maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang-orang yang
mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi akan pahala-pahala mereka
sedikitpun dan barangsiapa yang menyeru kepada sebuah kesesatan maka atasnya
dosa seperti dosa-dosa yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi
dari dosa-dosa mereka sedikitpun.”
2.Rezeki Bisa menjadi lebih lancar
Inilah yang menjadi pembahasan kita,
rezeki bisa lancar dengan membiayai seorang penuntut ilmu agama.
Dalam Sunan At-Tirmidzi dikisahkan,
كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ
اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِى النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلىَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
“Ada dua orang bersaudara di zaman
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam, yang satu datang kepada
Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam (untuk belajar), sedangkan yang
satunya lagi bekerja (menanggung nafkah saudaranya, pent). Maka orang yang
bekerja ini mengeluhkan kepada Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam
tentang saudaranya. Beliau pun bersabda, “Bisa jadi kamu diberi rezeki
karenanya (ia menuntut ilmu agama).
Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah
menjelaskan hadits,
لعلك ترزق به) بصيغة المجهول أي أرجو وأخاف
أنك مرزوق ببركته لأنه مرزوق بحرفتك فلا تمنن عليه بصنعتك
“Sabda Beliau (لعلكترزقبه) dalam bentuk mahjul, artinya saya berharap atau saya takut
bahwa engkau diberi rezeki karena barakahnya (saudaramu yang menuntut ilmu).
Karena ia dapat rezeki dari usahamu, maka janganlah engkau mengungkit-ungkit apa
yang engkau berikan kepadanya.”
Berkata At-Thaibi,
ومعنى لعل في قوله لعلك يجوز أن يرجع إلى
رسول الله صلى الله عليه وسلم فيفيد القطع والتوبيخ
“Makna kata “bisa jadi” (لعل) bisa kembalikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka memberikan makna “penegasan/kepastian” (pasti rezekimu
lancar karena saudaranya menuntut ilmu, pent) dan teguran (teguran karena
mengadukan saudaranya yang menuntut ilmu, pent).”
Dan jika kita membiayai penuntut
ilmu yang memiliki semangat, akan tetapi ia miskin dan lemah, tidak ada
biaya untuk menuntut ilmu maka ini juga bisa menjadi sebab rezeki kita
lancar.
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ
بِضُعَفَائِكُمْ
“Bukankah kamu ditolong dan diberi
rezeki karena (berbuat ihsan) kepada kaum dhu’afa (orang-orang lemah)
di antara kamu.
Jika kita membiayai penuntut ilmu
agama, maka ini temasuk infak yang Allah akan ganti jika kita ikhlas.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَآأَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍ فَهُوَ
يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang
sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ
فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ ، فَيَقُوْلُ أَحَدَهُمَا : اللَّهُمَّ أَعطِ
مُنْفِقاً خَلَفاً، وَيَقُولُ الآخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً
“Tidak ada satu hari pun, di mana
seorang hamba melalui pagi harinya kecuali dua malaikat turun, yang satu
berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak”, sedangkan
malaikat yang satu lagi berkata, “Ya Allah, timpakanlah kerugian kepada orang
yang bakhil.”
Dan Beliau juga bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ
اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا
رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi
harta, dan Allah tidaklah menambahkan hamba-Nya yang sering
memaafkan kecuali kemuliaan. Demikian juga tidaklah seseorang bertawadhu’
karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya.”
Oleh karena itu, bagi mereka yang
bergelut dalam usaha dan bisnis hendaknya ikut serta dalam dakwah dan salah
satunya adalah membiayai atau meng infaqkan sebagian hartanya untuk para
penuntut ilmu. Semoga dengan hal ini usaha dan bisnis mereka semakin
lancar dan penuh berkah. Amin
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Langganan:
Postingan (Atom)