Selasa, 18 Oktober 2016
Minggu, 02 Oktober 2016
Harta Tidak Menjamin Masa Tua Bahagaia
Kisah seorang ayah :
Seorang bapak yang kira-kira berusia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.
_“Dik hendak ke Jogja juga?”_
_“Saya mau ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”_
_“Iya.”_
_“Bapak sendiri?”_
_“Iya.”_ Senyumnya datar. Menghela napaspanjang._ “Dik kerja di mana?”_
_“Saya serabutan, Pak,”_ sahut saya sekenanya.
_“Serabutan tapi mapan, ya?”_ Ia tersenyum. _“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”_
Saya tertegun. _“Kok begitu, Pak?”_
Ia pun mengisahkan, istrinya yang telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan, bekerja di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.
Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang dihuni olehnya dan seorang satpam, dua orang pembantu dan, seorang sopir pribadinya, ia menyeka air mata di kelopak matanya dengan tisue.
_“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahim, dan berbakti pada orang tua._
_Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk, iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid. Tes di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”_
_“Bapak, Bapak yang sabar ya….!”_
Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut.
_“Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik..._
_Meski terlambat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni *sangkan paraning dumadi*. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak ada yang hakiki..._
_Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya….”_
Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya. Spontan saya memeluk Bapak tersebut. Tak sadar air mataku berderai, bapak tua tersebut juga meneteskan air matanya.
......kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya adalah agar menjadi orang sholeh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin Tuhan-Nya, tapi tidak ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yang harus berusaha untuk mendidik dan menanamkan
keimanan. Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri ini begitu kecil lemah, dan tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
*semoga bermanfaat*
Seorang bapak yang kira-kira berusia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.
_“Dik hendak ke Jogja juga?”_
_“Saya mau ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”_
_“Iya.”_
_“Bapak sendiri?”_
_“Iya.”_ Senyumnya datar. Menghela napaspanjang._ “Dik kerja di mana?”_
_“Saya serabutan, Pak,”_ sahut saya sekenanya.
_“Serabutan tapi mapan, ya?”_ Ia tersenyum. _“Kalau saya mapan tapi jiwanya serabutan.”_
Saya tertegun. _“Kok begitu, Pak?”_
Ia pun mengisahkan, istrinya yang telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan, bekerja di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.
Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang dihuni olehnya dan seorang satpam, dua orang pembantu dan, seorang sopir pribadinya, ia menyeka air mata di kelopak matanya dengan tisue.
_“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahim, dan berbakti pada orang tua._
_Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia. Sibuk, iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA bahwa ia sedang mid. Tes di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”_
_“Bapak, Bapak yang sabar ya….!”_
Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia tersenyum kecut.
_“Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik..._
_Meski terlambat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni *sangkan paraning dumadi*. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semua semu. Tidak ada yang hakiki..._
_Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya….”_
Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya. Spontan saya memeluk Bapak tersebut. Tak sadar air mataku berderai, bapak tua tersebut juga meneteskan air matanya.
......kejadian ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya adalah agar menjadi orang sholeh bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin Tuhan-Nya, tapi tidak ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yang harus berusaha untuk mendidik dan menanamkan
keimanan. Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri ini begitu kecil lemah, dan tak berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
*semoga bermanfaat*
Langganan:
Postingan (Atom)